September 23, 2014

Perjalan Panjang Menuju Desa Pemburu Paus, Lamalera! (FIN)

Selamat pagi, Maumere! Perjalanan harus kami lanjutkan walaupun rasanya masih ingin lama-lama istirahat di Blue Ocean Cottage. Kami berangkat jam 07.00 menuju Larantuka menggunakan Bus. Diperjalanan kami berkenalan dengan om Pehan yang membelikan kami buah seperti Sawo. Kami tidak pernah melihat buah ini sebelumnya karena warna-nya yang seperti Manggis, tetapi pada saat kami coba, rasanya seperti sawo.
Kira-kira apa nama buah yang ditengah ini?
Perjalanan dari Maumere menuju Larantuka dengan latar belakang bus kami yang membawa kasur

Kami menyebrang menggunakan kapal cepat dari pelabuhan larantuka menuju Lewoleba, Pulau Lembata. Pada saat sampai di Lewoleba, kami berencana menuju Lamalera menggunakan bus, tetapi karena hari sudah terlalu sore jadi sudah tidak ada bus. Pada saat mencari penginapan, Tuhan memberikan jalan yang berbeda. Ada yang menawarkan kami pergi ke Lamalera dengah ojek walaupun hari sudah sore, dia adalah Jhoe Bataona. Jhoe merupakan orang asli Lamalera dan bersama temannya bersedia mengantarkan kami.
Pelabuan Larantuka

Perjalanan dari Lewoleba menuju Lamalera

DAY 1 - LAMALERA
Selama perjalanan kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah, dan diakhiri dengan pemandangan laut lepas sebagai tanda kami sudah dekat dengan Lamalera. Saat matahari tenggelam, kami sampai di Lamalera dan diantar oleh Jhoe menginap di salah satu rumah adat Lamalera yaitu di rumah Bapak Damianus Stoveman. Setelah makan malam dan mengobrol sedikit, kami akhiri hari ini dengan beristirahat di kesunyian malam Lamalera.

DAY 2 – THE LAMALERA WAY
Kami terbangun pukul 4 pagi karena mendengar suara-suara orang dan ternyata di Lamalera aktifitas dimulai dari pagi sekali. Lamalera merupakan desa yang sangat taat agama, mayoritasnya adalah Katolik. Selain ada yang berjalan kaki ke sekolah dari pukul 5, ada juga yang melakukan ibadah setiap pagi yang ditandai dengan bunyi bell yang terdengar di seluruh desa.



Hari pertama kami akan jalan-jalan keliling desa. Ditemani Jhoe, kami melihat kapal-kapal yang dipakai untuk berburu ikan paus. Ada Paledang yaitu kapal traditional yang dikayuh untuk berburu dan kapal Johnson yang menggunakan mesin untuk menarik Paledang. Untuk cerita lebih detil mengenai bagian-bagian kapal beserta awak kapal untuk berburu, kalian harus datang langsung ke Lamalera., termasuk mengenai tata cara pembagian hasil buruan menurut adat Lamalera. Kami juga sempat melihat tulang-tulang ikan paus dan lumba-lumba yang menjadi peninggalan hasil perburuan.
Tulang-tulang Paus
Tulang-tulang Lumba-lumba
Setelah lelah berkeliling desa, kami kembali ke rumah adat dan kami disuguhkan makanan pokok Lamalera yaitu jagung titi. Jagung titi biasanya dimakan bersama lauk seperti ikan pari/lumba-lumba/paus. Malam ini kami tutup dengan perbicangan menarik denga 3 orang turis dari Cina yang kami temui, mereka melakukan perjalanan selama 6 bulan penuh berkeliling Indonesia. Saya sangat tertarik sekali dengan itinerary yang mereka miliki. Jika orang asing saja tertarik melakukan itu, apa lagi alasan bagi orang Indonesia jika tidak berkeliling di negeri nya sendiri?
Jagung Titi + Ikan Pari + Sayuran

Tembakau tradisional Lamalera yang dibungkus dengan daun lontar


DAY – 3 HUNTING DAY
Pagi ini kami awali dengan segelas kopi dan racauan di pagi hari. Tiba-tiba ada seseorang yang menawarkan kami ikut di kapalnya karena mereka akan berburu lumba-lumba dan ikan pari. Kami dengan perlengkapan seadanya, langsung ikut kapal tanpa berfikir panjang.

Lumba-Lumba 

Kami pergi cukup jauh dari daratan menuju lautan lepas bersama crew kapal dan Lamafa (juru tikam) kami bernama Bpk. Alfred. Setelah berputar-putar mencari ikan besar selama hampir 1 jam, ahirnya kami melihat sekumpulan lumba-lumba yang jumlahnya banyak sekali. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, tapi saya sebelumnya pernah melihat lumba-lumba di Lovina, Bali, tapi kali ini sangat berbeda. Ukurannya lebih besar dan jumlahnya mungkin ratusan. 
Lamafa siap menikam Lumba-Lumba

Kami berburu lumba-lumba seharian penuh! Kami mendapatkan 13 ekor lumba-lumba, jadi walaupun seluruh badan kami terbakar oleh teriknya matahari, setidaknya semua itu terbayarkan. Hari ini kami tutup dengan senyuman, karena desa Lamalera mendapatkan makanan lumba-lumba yang cukup banyak. Tidak sabar menunggu hari esok untuk mencicipi seperti apa rasanya.

DAY 4 – HISTORY OF LAMALERA
Hari ini kami akan naik ke bukit diatas Lamalera dimana terdapat batu paus. Sebelum kami dapat keatas, kami harus meminta izin terlebih dahulu kepada tuan tanah Lamalera yaitu suku Ujon. Kami bertemu dengan Nong Ujon, salah satu keturunan suku Ujon. Didampingi oleh Nong Ujon dan pusakanya, kami berjalan mendaki keatas bukit untuk melihat batu paus. Tempat batu paus ini merupakan tempat ritual yang dilakukan oleh suku Ujon untuk memberikan restu terhadap warga desa Lamalera sebelum memulai perburuan pada bulan Mei. Setelah diceritakan sejarah-sejarah Lamalera oleh Nong Ujon, kami diajak makan dirumahnya. Kami disuguhkan lumba-lumba yang merupakan hasil berburu kami kemarin, rasanya enak seperti daging rendang!
Nong Ujon sedang menceritakan sejarah Lamalera dengan latar belakang batu paus

Sore hari kami menuju ke sebuah pantai dekat Lamalera untuk bersantai sambil menunggu sunset. Pantai bersih dan sepi menemani kami hingga matahari terbenam. Hari ini kami cukup puas mengenal kehidupan dan sejarah yang ada di Lamalera, sehingga menerut kami
mereka pantas untuk berburu Paus, Lumba-Lumba dan Ikan Pari.


DAY 5 – HARI MINGGU HARI TUHAN
Bagi masyarakat Lamalera, hari Minggu adalah hari untuk Tuhan. Pagi-pagi mereka semua pergi ke Gereja dan sepanjang hari tidak boleh bekerja. Walaupun ada paus yang terlihat, maka teriakan Baleo (panggilan apabila melihat paus) sebaiknya tidak dilakukan, karena waktu berburu dapat dilakukan selain hari Minggu.
Anak-anak Lamalera
Hari ini adalah hari terakhir kami di Lamalera. Kami berpamitan dengan Bapak, Mama, Oom, dan Sahabat-sahabat kami di Lamalera. Perpisahan selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan untuk kebanyakan orang. Kami diberikan kenang-kenangan berupa gigi hiu dan lumba-lumba. Kami diantar sampai naik ke mobil (otto proky) oleh keluarga Damianus, perjalanan kami kembali ke Lewoleba.
Otto Proky

Bersama Bapak dan Mama Damianus di ruangan penyimpanan Pusaka

Sampai di Lewoleba kami mencari tiket untuk pulang, kali ini kami tidak road trip lagi tetapi langsung naik pesawat Lewoleba-Kupang-Jakarta. Sebelum pulang, kami sempatkan untuk melihat-lihat kota Lewoleba. Kami pergi ke pasar tradisional untuk membeli tuak dengan harga yang sangat murah yaitu 10rb/plastik. Tidak lupa kami juga membeli kain khas traditional dari NTT. Bermodal tuak, kami mengitari beberapa pantai cantik yang ada di dekat Lewoleba yaitu Waijarang, Arang Loang, Bukti Cinta, dan terakhir kami melihat sebuah pantai yang mengeluarkan air panas.
Mama penjual Tuak
Pasar Tradisional

Jalanan di Lewoleba 
Pengumpul Bulu Babi

Air Panas di Pantai



Masyarakat Lewoleba menyebut spot ini bukit cinta

Pesawat kami berangkat pagi dari Lewoleba menuju Kupang. Kami diantar ke bandara oleh Jhoe dan temannya Josi. Untuk kesekian kalinya kami merasakan diperlakukan seperti saudara di tanah NTT. Sebelum pergi, Jhoe melepaskan harta yang melekat di badannya yaitu kalung gigi orca dan gelang dari kulit penyu untuk diberikan kepada kami. Mungkin untuk orang kota ini hal yang tidak seberapa, tapi akankah kita memberikan jam kesayangan yang melekat di tangan kita kepada orang yang baru beberapa hari kenal?


Terima kasih NTT atas banyaknya pelajaran yang diberikan kepada kami. Kami bukan berlibur atau pelesiran tapi ini adalah salah satu dari perjalanan dalam hidup kami. Banyak nilai-nilai kehidupan yang kami ambil dalam perjalanan kami kali ini. Nilai yang sudah pudar apabila kami bandingkan dengan kehidupan di Jakarta. Kami selalu berharap agar orang-orang kota tidak memudarkan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam suatu daerah. Kami akan selalu ingat cara-cara Lamalera dalam menjalani hidup dan memperlakukan orang.



No comments: