Selamat
pagi, Maumere! Perjalanan harus kami lanjutkan walaupun rasanya masih ingin
lama-lama istirahat di Blue Ocean Cottage. Kami berangkat jam 07.00 menuju
Larantuka menggunakan Bus. Diperjalanan kami berkenalan dengan om Pehan yang membelikan
kami buah seperti Sawo. Kami tidak pernah melihat buah ini sebelumnya karena
warna-nya yang seperti Manggis, tetapi pada saat kami coba, rasanya seperti
sawo.
|
Kira-kira apa nama buah yang ditengah ini? |
|
Perjalanan dari Maumere menuju Larantuka dengan latar belakang bus kami yang membawa kasur |
Kami
menyebrang menggunakan kapal cepat dari pelabuhan larantuka menuju Lewoleba,
Pulau Lembata. Pada saat sampai di Lewoleba, kami berencana menuju Lamalera
menggunakan bus, tetapi karena hari sudah terlalu sore jadi sudah tidak ada
bus. Pada saat mencari penginapan, Tuhan memberikan jalan yang berbeda. Ada
yang menawarkan kami pergi ke Lamalera dengah ojek walaupun hari sudah sore,
dia adalah Jhoe Bataona. Jhoe merupakan orang asli Lamalera dan bersama
temannya bersedia mengantarkan kami.
|
Pelabuan Larantuka |
|
Perjalanan dari Lewoleba menuju Lamalera |
DAY 1 - LAMALERA
Selama
perjalanan kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah, dan diakhiri dengan
pemandangan laut lepas sebagai tanda kami sudah dekat dengan Lamalera. Saat
matahari tenggelam, kami sampai di Lamalera dan diantar oleh Jhoe menginap di
salah satu rumah adat Lamalera yaitu di rumah Bapak Damianus Stoveman. Setelah
makan malam dan mengobrol sedikit, kami akhiri hari ini dengan beristirahat di
kesunyian malam Lamalera.
DAY
2 – THE LAMALERA WAY
Kami
terbangun pukul 4 pagi karena mendengar suara-suara orang dan ternyata di
Lamalera aktifitas dimulai dari pagi sekali. Lamalera merupakan desa yang
sangat taat agama, mayoritasnya adalah Katolik. Selain ada yang berjalan kaki
ke sekolah dari pukul 5, ada juga yang melakukan ibadah setiap pagi yang ditandai dengan bunyi bell yang terdengar di seluruh desa.
Hari
pertama kami akan jalan-jalan keliling desa. Ditemani Jhoe, kami melihat
kapal-kapal yang dipakai untuk berburu ikan paus. Ada Paledang yaitu kapal
traditional yang dikayuh untuk berburu dan kapal Johnson yang menggunakan mesin
untuk menarik Paledang. Untuk cerita lebih detil mengenai bagian-bagian kapal
beserta awak kapal untuk berburu, kalian harus datang langsung ke Lamalera.,
termasuk mengenai tata cara pembagian hasil buruan menurut adat Lamalera. Kami
juga sempat melihat tulang-tulang ikan paus dan lumba-lumba yang menjadi
peninggalan hasil perburuan.
|
Tulang-tulang Paus |
|
Tulang-tulang Lumba-lumba |
Setelah
lelah berkeliling desa, kami kembali ke rumah adat dan kami disuguhkan makanan
pokok Lamalera yaitu jagung titi. Jagung titi biasanya dimakan bersama lauk
seperti ikan pari/lumba-lumba/paus. Malam ini kami tutup dengan perbicangan
menarik denga 3 orang turis dari Cina yang kami temui, mereka melakukan
perjalanan selama 6 bulan penuh berkeliling Indonesia. Saya sangat tertarik
sekali dengan itinerary yang mereka miliki. Jika orang asing saja tertarik
melakukan itu, apa lagi alasan bagi orang Indonesia jika tidak berkeliling di
negeri nya sendiri?
|
Jagung Titi + Ikan Pari + Sayuran |
|
Tembakau tradisional Lamalera yang dibungkus dengan daun lontar |
DAY
– 3 HUNTING DAY
Pagi
ini kami awali dengan segelas kopi dan racauan di pagi hari. Tiba-tiba ada
seseorang yang menawarkan kami ikut di kapalnya karena mereka akan berburu
lumba-lumba dan ikan pari. Kami dengan perlengkapan seadanya, langsung ikut
kapal tanpa berfikir panjang.
|
Lumba-Lumba |
Kami
pergi cukup jauh dari daratan menuju lautan lepas bersama crew kapal dan Lamafa
(juru tikam) kami bernama Bpk. Alfred. Setelah berputar-putar mencari ikan
besar selama hampir 1 jam, ahirnya kami melihat sekumpulan lumba-lumba yang
jumlahnya banyak sekali. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, tapi saya sebelumnya
pernah melihat lumba-lumba di Lovina, Bali, tapi kali ini sangat berbeda.
Ukurannya lebih besar dan jumlahnya mungkin ratusan.
|
Lamafa siap menikam Lumba-Lumba |
Kami berburu lumba-lumba
seharian penuh! Kami mendapatkan 13 ekor lumba-lumba, jadi walaupun seluruh
badan kami terbakar oleh teriknya matahari, setidaknya semua itu terbayarkan.
Hari ini kami tutup dengan senyuman, karena desa Lamalera mendapatkan makanan
lumba-lumba yang cukup banyak. Tidak sabar menunggu hari esok untuk mencicipi
seperti apa rasanya.
DAY
4 – HISTORY OF LAMALERA
Hari
ini kami akan naik ke bukit diatas Lamalera dimana terdapat batu paus. Sebelum
kami dapat keatas, kami harus meminta izin terlebih dahulu kepada tuan tanah
Lamalera yaitu suku Ujon. Kami bertemu dengan Nong Ujon, salah satu keturunan
suku Ujon. Didampingi oleh Nong Ujon dan pusakanya, kami berjalan mendaki
keatas bukit untuk melihat batu paus. Tempat batu paus ini merupakan tempat
ritual yang dilakukan oleh suku Ujon untuk memberikan restu terhadap warga desa
Lamalera sebelum memulai perburuan pada bulan Mei. Setelah diceritakan
sejarah-sejarah Lamalera oleh Nong Ujon, kami diajak makan dirumahnya. Kami
disuguhkan lumba-lumba yang merupakan hasil berburu kami kemarin, rasanya enak
seperti daging rendang!
|
Nong Ujon sedang menceritakan sejarah Lamalera dengan latar belakang batu paus |
Sore
hari kami menuju ke sebuah pantai dekat Lamalera untuk bersantai sambil
menunggu sunset. Pantai bersih dan sepi menemani kami hingga matahari terbenam. Hari ini kami cukup puas mengenal kehidupan dan sejarah yang ada di Lamalera, sehingga menerut kami
mereka pantas untuk berburu Paus, Lumba-Lumba
dan Ikan Pari.
DAY
5 – HARI MINGGU HARI TUHAN
Bagi
masyarakat Lamalera, hari Minggu adalah hari untuk Tuhan. Pagi-pagi mereka
semua pergi ke Gereja dan sepanjang hari tidak boleh bekerja. Walaupun ada paus
yang terlihat, maka teriakan Baleo (panggilan apabila melihat paus) sebaiknya
tidak dilakukan, karena waktu berburu dapat dilakukan selain hari Minggu.
|
Anak-anak Lamalera |
Hari
ini adalah hari terakhir kami di Lamalera. Kami berpamitan dengan Bapak, Mama,
Oom, dan Sahabat-sahabat kami di Lamalera. Perpisahan selalu menjadi hal yang
tidak menyenangkan untuk kebanyakan orang. Kami diberikan kenang-kenangan
berupa gigi hiu dan lumba-lumba. Kami diantar sampai naik ke mobil (otto proky)
oleh keluarga Damianus, perjalanan kami kembali ke Lewoleba.
|
Otto Proky |
|
Bersama Bapak dan Mama Damianus di ruangan penyimpanan Pusaka |
Sampai
di Lewoleba kami mencari tiket untuk pulang, kali ini kami tidak road trip lagi
tetapi langsung naik pesawat Lewoleba-Kupang-Jakarta. Sebelum pulang, kami
sempatkan untuk melihat-lihat kota Lewoleba. Kami pergi ke pasar tradisional
untuk membeli tuak dengan harga yang sangat murah yaitu 10rb/plastik. Tidak
lupa kami juga membeli kain khas traditional dari NTT. Bermodal tuak, kami
mengitari beberapa pantai cantik yang ada di dekat Lewoleba yaitu Waijarang,
Arang Loang, Bukti Cinta, dan terakhir kami melihat sebuah pantai yang
mengeluarkan air panas.
|
Mama penjual Tuak |
|
Pasar Tradisional |
|
Jalanan di Lewoleba |
|
Pengumpul Bulu Babi |
|
Air Panas di Pantai |
|
Masyarakat Lewoleba menyebut spot ini bukit cinta |
Pesawat
kami berangkat pagi dari Lewoleba menuju Kupang. Kami diantar ke bandara oleh
Jhoe dan temannya Josi. Untuk kesekian kalinya kami merasakan diperlakukan
seperti saudara di tanah NTT. Sebelum pergi, Jhoe melepaskan harta yang melekat
di badannya yaitu kalung gigi orca dan gelang dari kulit penyu untuk diberikan
kepada kami. Mungkin untuk orang kota ini hal yang tidak seberapa, tapi akankah
kita memberikan jam kesayangan yang melekat di tangan kita kepada orang yang
baru beberapa hari kenal?
Terima
kasih NTT atas banyaknya pelajaran yang diberikan kepada kami. Kami bukan
berlibur atau pelesiran tapi ini adalah salah satu dari perjalanan dalam hidup
kami. Banyak nilai-nilai kehidupan yang kami ambil dalam perjalanan kami kali
ini. Nilai yang sudah pudar apabila kami bandingkan dengan kehidupan
di Jakarta. Kami selalu berharap agar orang-orang kota tidak memudarkan
nilai-nilai kebaikan yang ada dalam suatu daerah. Kami akan selalu ingat cara-cara
Lamalera dalam menjalani hidup dan memperlakukan orang.